a.
Definisi
Membaca Cepat
Bloomfield dan Barnhart (1961) mengemukakan
bahwa membaca tidak melibatkan apa-apa selain korelasi kesan bunyi dengan citra
visual yang berkesesuaian. Secara berbeda, Bennette (1997) menyatakan bahwa membaca
adalah proses visual - visi adalah proses simbolis melihat aitem atau simbol
dan menerjemahkannya menjadi sebuah gagasan atau gambar. Gambar diproses
menjadi konsep dan dimensi keseluruhan pemikiran.
Ahuja dan Ahuja (2007) mengemukakan
bahwa membaca merupakan suatu keterampilan kompleks yang melibatkan serangkaian
keterampilan yang lebih kecil lainnya. Dengan kata lain, proses membaca adalah
proses ganda, meliputi proses penglihatan dan proses tanggapan. Sebagai proses penglihatan,
membaca bergantung pada kemampuan melihat simbol-simbol. Proses membaca
merentang dari yang paling sederhana, yaitu men-dekode kata-kata hingga perluasan
dan pengembangan interpretatif di luar pesan penulis berangkat dari latar belakang
pengalaman pembaca. Pen-dekode-an adalah proses mengubah simbol-simbol visual ke
dalam pola-pola auditori, sedangkan perluasan dan pengembangan interpretatif
melibatkan membaca kritis atau terkadang kreatif. Ternyata membaca bukanlah suatu
kemampuan tunggal. Membaca juga menggabungkan banyak komponen kecil yang jika dipadukan
bersama memungkinkan membaca berlangsung. Membaca adalah sekelompok keterampilan
yang memasukkan di dalamnya keterampilan pengenalan kata, kosakata, membaca untuk
menemukan makna utuh, membaca untuk mencari gagasan pokok, memahami informasi
faktual spesifik, mengikuti petunjuk, pengajaran dan arahan.
Smith dan Dechant (1961) berpendapat
bahwa, untuk mendiskusikan perihal kecepatan membaca, sudah seharusnya kecepatan
memahami bahan bacaan dimasukkan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Nurhadi (1987)
mendefinisikan membaca cepat sebagai membaca yang mengutamakan kecepatan dengan
tidak mengabaikan pemahaman. Dua aspek yang menjadi kunci dalam definisi
tersebut adalah kecepatan yang memadai dan persentase pemahaman yang tinggi. Hal
senada juga dikemukakan oleh Soedarso (2010) bahwa dalam membaca cepat
terkandung di dalamnya pemahaman yang cepat pula. Bahkan pemahaman inilah yang
menjadi pangkal tolak pembahasan, bukan kecepatannya.
Berdasarkan beberapa definisi dan penjelasan
para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca cepat adalah membaca dengan kecepatan
yang memadai sesuai dengan tujuan membaca sehingga diperoleh persentase
pemahaman yang tinggi.
b.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kecepatan Membaca
Dechant (1973) berpendapat bahwa kecepatan
membaca akan selalu bergantung pada tujuan, kecerdasan, pengalaman, pengetahuan
pembaca dan tingkat kesulitan bahan bacaan.
Kecepatan selalu bergantung pada motivasi, keadaan psikologis dan fisik
pembaca, penguasaan keterampilan dasar membaca, dan format bahan bacaan.
Secara spesifik, faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan membaca dan pemahaman bacaan dikemukakan oleh Shores (dalam
Ahuja dan Ahuja, 2007), antara lain: ukuran huruf, model huruf, kehitaman dan ketajaman
cetakan, mutu dan sifat kertas, ukuran halaman, organisasi bahan, banyaknya
ruang kosong, jenis dan penempatan ilustrasi (gambar/foto), judul dan sub judul,
kejelasan tulisan, bidang pengetahuan, kompleksitas gagasan, gaya menulis
pengarang, jenis tulisan (puisi, narasi, atau deskriptif/paparan), kepribadian penulis,
perasaan pembaca (mengantuk, waspada, tenang, gelisah), kemampuan mental pembaca,
keterampilan membaca, lingkungan tempat membaca, latar pengalaman membaca,
tujuan dan minat pada bidang atau ranah karya bahan yang sedang dibaca, dan
keakrabannya dengan kekhasan gaya pengarang dan pengalimatannya.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut,
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi membaca cepat adalah
sebagai berikut:
a.
Tujuan
membaca
b.
Kecerdasan
c.
Latar
belakang pengalaman dan pengetahuan pembaca
d.
Kondisi
psikologis pembaca saat membaca
e.
Kondisi
fisik pembaca saat membaca
f.
Penguasaan
keterampilan dasar membaca
g.
Format
bahan bacaan, meliputi ukuran huruf, model huruf, tingkat kehitaman, ukuran kertas,
organisasi bahan, banyaknya ruang kosong, jenis dan penempatan ilustrasi
(gambar/foto), judul dan sub judul
h.
Tingkat
kesulitan bahan bacaan, meliputi kompleksitas gagasan bahan bacaan, jenis bahan
bacaan, dan gaya penulisan pengarang
i.
Lingkungan
tempat membaca.
c.
Tingkatan
Kecepatan Membaca
Bond dan Tinker (1967) menyatakan
bahwa:
“Definisi kecepatan
membaca harus diredefinisikan sebagai kecepatan memahami bahan-bahan tercetak
dan tertulis.”
Menurut Hafner dan Jolly (1972), angka
kecepatan membaca yang efisien adalah kecepatan wajar maksimum yang dapat diterapkan
oleh pembaca untuk mendapatkan makna yang diharapkan dari kandungan bacaan.
Hafner dan Jolly selanjutnya menjelaskan bahwa kata wajar (tidak dipaksakan) didefinisikan
sebagai peringatan bahwa ketika seorang pembaca terlalu mementingkan pada
mekanika, maka ia tidak mungkin tiba pada makna. Definisi itu menyiratkan bahwa
kecepatan membaca efisien setiap pembaca kemungkinan berbeda.
Nurhadi (1987) membagi kecepatan
membaca menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a.
Rendah :
175-250 kata per menit
b.
Sedang
atau cukup memadai : 250-350
kata per menit
c.
Tinggi
atau efektif :
400-500 kata per menit atau lebih
Kecepatan membaca yang memadai untuk
setiap jenjang pendidikan berbeda-beda. Kecepatan membaca siswa kelas akhir sekolah
dasar atau siswa setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama dianggap memadai
bila berkisar sekitar 200 kata per menit. Siswa sekolah lanjutan atas dianggap memiliki
kecepatan membaca yang memadai bila mampu membaca sekitar 250 kata per menit.
Untuk mahasiswa sekitar 325 kata per menit, sedangkan mahasiswa pascasarjana dan
program doktor sekitar 400 kata per menit. Bagi orang dewasa (tidak
bersekolah), kecepatan itu bisa turun kembali dan dianggap memadai pada
kecepatan 200 kata per menit. Kecepatan membaca tersebut harus diikuti oleh tingkat
pemahaman terhadap bacaan 50% atau 40-60% (Nurhadi, 1987).
d.
Cara
Mengukur Kecepatan Membaca
Kecepatan membaca biasanya diukur
dengan berapa banyak kata atau yang terbaca setiap menitnya, dengan pemahaman
rata-rata 50%, atau dengan kata lain berkisar antara 40% sampai 60%. Pada taraf
pemahaman sekian, kecepatan membaca dianggap memadai (Nurhadi, 1987).
Menurut Nurhadi (1987), cara mengukur
kecepatan membaca adalah sebagai berikut:
a.
Mencatat
waktu mulai membaca (jam …, menit …, detik ….).
b.
Menandai
di mana awal membaca (lebih mudah bila dimulai dari judul bacaan).
c.
Membaca
teks dengan kecepatan yang memadai.
d.
Menandai
di mana akhir membaca (pada kalimat akhir, jika bacaannya pendek).
e.
Mencatat
waktu berakhirnya membaca (jam …, menit …, detik …).
f.
Menghitung
berapa waktu yang diperlukan (dalam detik).
g.
Menghitung
jumlah kata dalam teks yang dibaca (termasuk tanda baca).
h.
Mengalikan
jumlah kata dengan bilangan 60 (1 menit = 60 detik). Hasil perkalian merupakan
jumlah total kata.
i.
Membagi
hasil perkalian dengan jumlah waktu yang diperlukan untuk membaca. Hasilnya
adalah “jumlah kata per menit”.
Bila digambarkan proses di atas
adalah seperti di bawah ini:
a.
Saat
akhir membaca : jam …, menit …, detik …
Saat mulai membaca : jam …,
menit …, detik …
Waktu yang diperlukan :
………………… detik
b.
Jumlah
kata x 60 menit = jumlah total kata
Jumlah
total kata : waktu yang diperlukan = jumlah kata per menit.
Secara lebih sederhana, Soedarso (2010)
mengemukakan rumus untuk mengukur kecepatan membaca sebagai berikut:
Jumlah kata yang dibaca x 60 = jumlah kata per menit (kpm)
Jumlah detik untuk membaca
e.
Fleksibelitas
Kecepatan Membaca
Fleksibelitas dalam membaca adalah keterampilan
membaca setiap bahan bacaan tidak dengan cara yang sama (Ahuja & Ahuja,
2007). Kecepatan membaca sangat tergantung pada bahan dan tujuan membaca, dan sejauh
mana keakraban dengan bahan tersebut. Kecepatan membaca harus seiring dengan kecepatan
memahami bahan bacaan (Soedarso, 2010).
Temuan riset memperlihatkan bahwa kebanyakan
pembaca tidak memiliki fleksibelitas dalam membaca. Harris (dalam Ahuja &
Ahuja, 2007) melaporkan bahwa kebanyakan pembaca tidak fleksibel dalam kecepatan
membaca. Kebanyakan pembaca cenderung mempertahankan satu pendekatan karakteristik
dan menggunakan satu kecepatan yang relatif tetap untuk setiap jenis bahan
bacaan. McDonald (dalam Ahuja & Ahuja, 2007) meneliti lebih dari 8.000
pembaca tingkat sekolah dasar, lanjutan, perguruan tinggi dan orang dewasa. Dia
menemukan bahwa lebih dari 90% dari mereka cenderung mempertahankan pendekatan
karakteristik dan relatif tidak mengubah kecepatan membaca mereka untuk semua jenis
bacaan yang diujicobakan, kendatipun ada perbedaan tujuan dan variasi tingkat
kesulitannya, serta gaya dan isi bacaan.
f.
Hambatan
Membaca Cepat
Ahuja dan Ahuja (2007) mengemukakan,
ada beberapa penghalang membaca cepat yang mempengaruhi efisiensi membaca.
Penghalang-penghalang itu antara lain vokalisasi, gerakan bibir, berbicara atau
mendengar dalam hati, goyangan kepala, tunjuk jari, membaca kata per kata, analisis
kata, pemblokan mata, mundur ke belakang dan membaca ulang. Tingkat kesulitan
bahan bacaan dan kekurangan motivasi. Tingkat kesulitan bahan bacaan dan kekurangan
motivasi di pihak pembaca juga mempengaruhi efisiensi membaca.
Soedarso (2010) mengemukakan ada enam
penghambat seseorang untuk membaca cepat, yaitu:
a.
Vokalisasi
Vokalisasi atau membaca dengan bersuara berarti mengucapkan kata
demi kata dengan lengkap. Hal ini memperlambat membaca. Menggumam, sekalipun
dengan mulut terkatup dan suara tidak terdengar, termasuk membaca dengan
bersuara. Cara mengidentifikasi vokalisasi yaitu dengan meletakkan tangan di leher
saat membaca. Apabila terasa getaran di jakun, hal tersebut berarti membaca
dengan bersuara atau vokalisasi. Adapun cara untuk menghilangkan kebiasaan ini
adalah dengan meniup atau membentuk bibir seperti bersiul saat membaca sembari
meletakkan tangan di leher untuk memastikan tidak ada getaran di jakun.
b.
Gerakan
bibir
Orang dewasa ada yang meneruskan kebiasaan di waktu kecil, yaitu
mengucapkan kata demi kata apa yang dibaca dengan menggerakkan bibir.
Menggerakkan bibir atau komat-kamit sewaktu membaca, sekalipun tidak mengeluarkan
suara, sama lambatnya dengan membaca bersuara. Kecepatan membaca bersuara ataupun
dengan gerakan bibir hanya seperempat dari kecepatan membaca secara diam.
Dengan menggerakkan bibir, seseorang lebih sering regresi (kembali ke belakang),
sebab ketika mata dapat dengan cepat bergerak maju, suara masih di belakang.
Cara menghilangkan kebiasaan membaca dengan gerakan bibir, berikut
merupakan beberapa alternatif pilihan cara mengatasinya:
1)
Merapatkan
bibir kuat-kuat, tekankan lidah ke langit-langit mulut.
2)
Mengunyah
permen karet.
3)
Menggunakan
pensil atau sesuatu yang lain yang cukup ringan, lalu dijepit dengan kedua
bibir (bukan gigi), usahakan agar pensil tidak bergerak.
4)
Mengucapkan
berulang-ulang, “satu, dua, tiga.”
5)
Membuat
gerakan bibir bersiul, tetapi tanpa suara.
c.
Gerakan
kepala
Sewaktu kanak-kanak, penglihatan sukar menguasai seluruh penampang
bacaan. Akibatnya adalah menggerakkan kepala dari kiri ke kanan untuk dapat
membaca baris-baris bacaan secara lengkap. Setelah dewasa, penglihatan telah
mampu secara optimal, sehingga seharusnya cukup mata saja yang bergerak.
Cara menghilangkan kebiasaan menggerakkan kepala, berikut merupakan
beberapa alternatif pilihan cara mengatasinya:
1)
Meletakkan
telunjuk jari ke pipi dan menyandarkan siku tangan ke meja selama membaca, apabila
terasa tangan terdesak oleh gerakan kepala, sadarlah dan hentikan gerakan
tersebut.
2)
Tangan
memegang dagu seperti membelai-belai jenggot dan apabila kepala bergerak,
sadarlah dan hentikan gerakan tersebut.
3)
Meletakkan
ujung telunjuk jari di hidung, bila kepala bergerak akan segera disadari dan
hentikan gerakan tersebut.
d.
Menunjuk
dengan jari
Sewaktu baru belajar membaca, individu harus mengucapkan kata demi kata
yang dibaca dengan bantuan jari atau pensil yang menunjuk kata demi kata
tersebut. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak ada kata yang terlewati. Oleh
karena cara tersebut dipraktikkan terus-menerus dan tidak ada yang memberikan
petunjuk lebih lanjut bahwa hal tersebut tidak perlu lagi dilakukan apabila telah
pandai membaca, akhirnya cara itu menjadi kebiasaan dan dilakukan sampai
dewasa.
Cara membaca menunjuk dengan jari atau benda lain sangat menghambat,
sebab gerakan tangan lebih lambat daripada gerakan mata. Kebiasaan tersebut
dapat dihilangkan dengan cara yang mudah sebagai berikut:
1)
Kedua
tangan memegang buku yang dibaca.
2)
Memasukkan
tangan ke saku selama membaca.
e.
Regresi
Selama membaca, mata bergerak ke kanan untuk menangkap kata-kata yang
terletak berikutnya. Akan tetapi, mata sering bergerak kembali ke belakang
untuk membaca ulang suatu kata atau beberapa kata sebelumnya. Kebiasaan selalu kembali
(regresi) ke belakang untuk melihat kata atau beberapa kata yang baru dibaca
merupakan hambatan yang serius dalam membaca.
Keinginan untuk melihat ke belakang antara lain terdorong karena kurang
percaya diri, merasa kurang tepat menangkap arti, merasa kehilangan sesuatu,
atau salah membaca sebuah kata. Kebiasaan regresi disebabkan melamun. Secara mental
individu mengerjakan hal lain di tempat lain sementara Universitas Sumatera
Utara membaca. Regresi dapat dikurangi dengan melaksanakan hal-hal sebagai
berikut:
1)
menanamkan
kepercayaan diri. Tidak berusaha mengerti setiap kata atau kalimat di paragraf dan
tidak terpaku pada detail. Terus membaca, tidak mengikuti godaan untuk kembali
ke belakang.
2)
menghadapi
bahan bacaan. Tetap memperhatikan bahan bacaan yang dibaca.
3)
meneruskan
membaca sampai akhir kalimat. Apa yang dipikir tertinggal akan muncul kembali. Terus
membaca, seiring membaca selanjutnya individu akan menemukan apa yang dipikirnya
hilang. Kemampuan otak dan mata jauh melampaui perkiraan. Oleh karena itu, terus
paksakan membaca. Dengan demikian, individu akan mengganti kebiasaan lama
dengan yang baru.
f.
Subvokalisasi
Subvokalisasi
atau melafalkan dalam batin/pikiran kata-kata yang dibaca juga dilakukan oleh pembaca
yang kecepatannya telah tinggi. Subvokalisasi juga menghambat karena individu menjadi
lebih memperhatikan bagaimana melafalkan secara benar daripada berusaha memahami
ide yang dikandung dalam kata-kata yang dibaca. Menghilangkan sama sekali cara
membaca dengan melafalkan dalam batin apa yang dibaca memang tidak mungkin, tetapi
masih dapat diusahakan dengan cara melebarkan jangkauan mata sehingga satu
fiksasi (pandangan mata) dapat menangkap beberapa kata sekaligus dan langsung
menyerap idenya daripada melafalkannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar