Sabtu, 01 Desember 2012

Pengertian Cooperative Learning


A. Pengertian Cooperative Learning
Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif) adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan pada pendekatan konstruktivis. Cooperative Learning merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam Cooperative Learning, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Unsur-unsur dasar dalam Cooperative Learning adalah sebagai berikut (Lungdren, 1994).
  1. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama.”
  2. Para siswa harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.
  3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
  4. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota kelompok.
  5. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
  6. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.
  7. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Menurut Thompson, et al. (1995), Cooperative Learning turut menambah unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran sains. Di dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 6 orang siswa, dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya.
Pada Cooperative Learning diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan (Slavin, 1995).

Cooperative Learning


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam pembelajaran dikelas maupun tutorial. Model pembelajaran harus mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk tujuan-tujuan pembelajaran, lingkungan dan pengelolahan kelas. Melalui pembelajaran guru dapat membantu peserta didik mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berfikir dan mengekpresikan ide. Juga berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran.
Dalam dunia pendidikan pembelajaran cooperative telah memiliki sejarah yang panjang sejak zaman dahulukala, para guru telah mendorong siswa-siswa mereka untuk bekerja sama dlam tugas-tugas kelompok tertentu dalam diskusi, debat, atau pelajaaran tambahan. Menurut beberapa ahli bahwa cooperative learning tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit, akan tetapi sangat berguna untuk menumbuhkan berfikir kritis.
Jadi, cooperativelearning adalah konsep yang lebih luas yang meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru.
  1. Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian dari model pembelajaran cooperative lerning ?
  2. Apa tujuan dari model pembelajaran cooperative lerning ?
  3. Apa karakteristik dari model pembelajaran cooperative lerning ?
  4. Apa saja model-model dari model pembelajaran cooperative lerning ?
  5. Apa peran guru dalam model pembelajaran cooperative lerning ?
  6. Apa sintak dari model pembelajaran cooperative lerning ?
  1. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah kami ini , supaya para pembaca atau para maha siswi khususnya jurusan Pendidikan Agama Islam sebagai calon guru mengetahui model-model pembelajaran yang lebih baik digunakan pada peserta didiknya dan lebih giat lagi dalam mempelajarinya.

Kamis, 29 November 2012

Memebaca Cepat



a.       Definisi Membaca Cepat
Bloomfield dan Barnhart (1961) mengemukakan bahwa membaca tidak melibatkan apa-apa selain korelasi kesan bunyi dengan citra visual yang berkesesuaian. Secara berbeda, Bennette (1997) menyatakan bahwa membaca adalah proses visual - visi adalah proses simbolis melihat aitem atau simbol dan menerjemahkannya menjadi sebuah gagasan atau gambar. Gambar diproses menjadi konsep dan dimensi keseluruhan pemikiran.
Ahuja dan Ahuja (2007) mengemukakan bahwa membaca merupakan suatu keterampilan kompleks yang melibatkan serangkaian keterampilan yang lebih kecil lainnya. Dengan kata lain, proses membaca adalah proses ganda, meliputi proses penglihatan dan proses tanggapan. Sebagai proses penglihatan, membaca bergantung pada kemampuan melihat simbol-simbol. Proses membaca merentang dari yang paling sederhana, yaitu men-dekode kata-kata hingga perluasan dan pengembangan interpretatif di luar pesan penulis berangkat dari latar belakang pengalaman pembaca. Pen-dekode-an adalah proses mengubah simbol-simbol visual ke dalam pola-pola auditori, sedangkan perluasan dan pengembangan interpretatif melibatkan membaca kritis atau terkadang kreatif. Ternyata membaca bukanlah suatu kemampuan tunggal. Membaca juga menggabungkan banyak komponen kecil yang jika dipadukan bersama memungkinkan membaca berlangsung. Membaca adalah sekelompok keterampilan yang memasukkan di dalamnya keterampilan pengenalan kata, kosakata, membaca untuk menemukan makna utuh, membaca untuk mencari gagasan pokok, memahami informasi faktual spesifik, mengikuti petunjuk, pengajaran dan arahan.
Smith dan Dechant (1961) berpendapat bahwa, untuk mendiskusikan perihal kecepatan membaca, sudah seharusnya kecepatan memahami bahan bacaan dimasukkan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Nurhadi (1987) mendefinisikan membaca cepat sebagai membaca yang mengutamakan kecepatan dengan tidak mengabaikan pemahaman. Dua aspek yang menjadi kunci dalam definisi tersebut adalah kecepatan yang memadai dan persentase pemahaman yang tinggi. Hal senada juga dikemukakan oleh Soedarso (2010) bahwa dalam membaca cepat terkandung di dalamnya pemahaman yang cepat pula. Bahkan pemahaman inilah yang menjadi pangkal tolak pembahasan, bukan kecepatannya.
Berdasarkan beberapa definisi dan penjelasan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca cepat adalah membaca dengan kecepatan yang memadai sesuai dengan tujuan membaca sehingga diperoleh persentase pemahaman yang tinggi.
b.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Membaca
Dechant (1973) berpendapat bahwa kecepatan membaca akan selalu bergantung pada tujuan, kecerdasan, pengalaman, pengetahuan pembaca dan tingkat kesulitan bahan bacaan.  Kecepatan selalu bergantung pada motivasi, keadaan psikologis dan fisik pembaca, penguasaan keterampilan dasar membaca, dan format bahan bacaan.
Secara spesifik, faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan membaca dan pemahaman bacaan dikemukakan oleh Shores (dalam Ahuja dan Ahuja, 2007), antara lain: ukuran huruf, model huruf, kehitaman dan ketajaman cetakan, mutu dan sifat kertas, ukuran halaman, organisasi bahan, banyaknya ruang kosong, jenis dan penempatan ilustrasi (gambar/foto), judul dan sub judul, kejelasan tulisan, bidang pengetahuan, kompleksitas gagasan, gaya menulis pengarang, jenis tulisan (puisi, narasi, atau deskriptif/paparan), kepribadian penulis, perasaan pembaca (mengantuk, waspada, tenang, gelisah), kemampuan mental pembaca, keterampilan membaca, lingkungan tempat membaca, latar pengalaman membaca, tujuan dan minat pada bidang atau ranah karya bahan yang sedang dibaca, dan keakrabannya dengan kekhasan gaya pengarang dan pengalimatannya.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi membaca cepat adalah sebagai berikut:
a.       Tujuan membaca
b.      Kecerdasan
c.       Latar belakang pengalaman dan pengetahuan pembaca
d.      Kondisi psikologis pembaca saat membaca
e.       Kondisi fisik pembaca saat membaca
f.       Penguasaan keterampilan dasar membaca
g.      Format bahan bacaan, meliputi ukuran huruf, model huruf, tingkat kehitaman, ukuran kertas, organisasi bahan, banyaknya ruang kosong, jenis dan penempatan ilustrasi (gambar/foto), judul dan sub judul
h.      Tingkat kesulitan bahan bacaan, meliputi kompleksitas gagasan bahan bacaan, jenis bahan bacaan, dan gaya penulisan pengarang
i.        Lingkungan tempat membaca.
c.       Tingkatan Kecepatan Membaca
Bond dan Tinker (1967) menyatakan bahwa:
“Definisi kecepatan membaca harus diredefinisikan sebagai kecepatan memahami bahan-bahan tercetak dan tertulis.”

Menurut Hafner dan Jolly (1972), angka kecepatan membaca yang efisien adalah kecepatan wajar maksimum yang dapat diterapkan oleh pembaca untuk mendapatkan makna yang diharapkan dari kandungan bacaan. Hafner dan Jolly selanjutnya menjelaskan bahwa kata wajar (tidak dipaksakan) didefinisikan sebagai peringatan bahwa ketika seorang pembaca terlalu mementingkan pada mekanika, maka ia tidak mungkin tiba pada makna. Definisi itu menyiratkan bahwa kecepatan membaca efisien setiap pembaca kemungkinan berbeda.

Sabtu, 19 Mei 2012

Peranan Orang Tua Kaitannya Dengan Akhlak



 
BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Anak-anak dalam keluarga adalah buah hati sibirang tulang. Anak-anak dalam keluarga adalah permata dalam rumah tangga. Anak-anak dalam rumah tangga adalah amanat Allah yang perlu dipelihara dengan sebaik-baiknya. Demikianlah beberapa ungkaan masyarakat tersebar luas dalam mendudukan anak pada tempat yang cukup mulia dan berharga.
Sedangkan “keluarga” dalam skripsi ini adalah keluarga menurut Pure Family Sistem (sitem keluarga pokok), yang terdiri dari bapak, ibu dan anak; bukan keluarga menurut Ekstented Family Sistem, yang terdiri dari bapak, ibu, anak, kakek, nenek, mertua, keponakan dan sebagainya, seperti yang terdapat dikalangan bangsa Indonesia.[1]

1
 
Dengan penjelasan diatas, maka anggota keuarga yang paling berperan dalam mendidik anak sebagai amanat Allah adalah ayah-ibu.[2] atau biasa disebut dengan istilah orang tua, karena dia adalah awal adanya sebuah keluarga dan orang pertama yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di dalam keluarga. Maka dari itu dalam skripsi ini, penulis sering mengungkapkan tentang orang tua dalam keluarga.
Setiap keluarga menyadari bahwa pada hakekatnya anak-anak adalah amanat Allah SWT. yang dipercayakan (diamanatkan) pada dirinya. Kesadaran para keluarga muslim akan hakekat anak mereka sebagai amanat Allah SWT. ini sepantasnya ditanggapi dengan penuh tanggung jawab. Setiap orang pasti menyadari bahwa Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar mengembankan amatat itu dengan baik. Dan disisi lain, Dia-pun berfirman:



Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui(QS. Al-Anfal:27)[3]

Dengan demikian, maka orang tua muslim pantang untuk mengkhianati amanat Allah berupa dikaruniakannya anak kepada mereka. Dan hukum mengembannya wajib bagi mereka.[4]
Di antara sekian perintah Allah yang berkenaan dengan amanat-Nya yang berupa anak adalah bahwa  setiap orang tua muslim wajib mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan baik dan benar, agar mereka tidak menjadi anak-anak yang lemah iman atau lemah kehidupan duniawi.
Sebagaimana firman-Nyadalam surat An-Nisa’ ayat 9:


 



Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa : 9)[5]
.
Islam memandang keluarga bukan hanya sebagai persekutuan hidup terkecil saja, melainkan lebih dari itu, yakni sebagai lembaga hidup manusia ynag memberi peluang kepada anggotanya untuk hidup bahagia atau celaka dunia dan akhirat. Oleh karena itu sangatlah penting bagi keluarga untuk melaksanakan fungsinya sebagai badan pendidikan terutama yang berkenaan dengan nilai-nilai islam. Allah berfirman:




Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(QS. At-Tahrim : 6)

Ayat Al-Qur'an tersebut mengandung perintah agar kita orang mukmin menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Orang tua memiliki peranan penting dalam rangka pendidikan islam terhadap anak-anaknya. Jika ditinjau dari segi pendidikan, berarti kita diperintahkan mendidik diri dan keluarga supaya memiliki jiwayang mampu menahan perbuatan yang akan menjerumuskan kedalam jalan kesesatan, perbuatan yang menarik pada sikap durhaka kepada Allah SWT. yang akhurnya bisa mengakibatkan siksa di neraka.
Setiap orang tua pasti mendambakan anak yang shalih, berakhlak mulia, berguna bagi nusa dan bangsa. Untuk mewujudkan tujuan tersebut orang tua memiliki peran yang sangat penting, sebab keluarga merupakan arena pendidikan yang pertama dan utama bagi anak, sebab setelah kelahirannya, ia berinteraksi dengan orang tua dan keluarganya.
Anak lahir ke dunia dalam keadaan fitrah. Ia tiada mempunyai dosa warisan dari siapapun juga. jelaslah bahwa pendidikan yang diberikan orang tua sangat berpengaruh bagi anak sehingga jika pendidikan tersebut tidak baik, maka hasilnya juga tidak baik. Demikian pula bila orang tua berusaha dan melakukan pendidikan terhadap anaknya dengan baik, maka hasilnyapun baik pula bagi anak.[6] Akan tetapi karena keterbatasan orang tua dalam mengajar dan mendidik anak, maka untuk kelanjutan pendidikan memerlukan bantuan orang(guru/ustadz/kyai) untuk memberi pendidikan yang intensif. Hal ini dilakukan karena anak harus disiapkan sedini mungkin secara terarah, teratur dan disilin agar dapat bertahan dalam kehiduan yang dinamis dan mampu mengantisipasi dari godaan dan hal-hal yang dapat merusak keimanan.
Dalam era globalisasi ini, keterbukaan budaya sangat memengaruhi terhadap prilaku, sikap dan mental anak, suasana lingkungan dan perkembangan teknologi membawa dampak yang besar terhadak kehidupan kerohanian dan perubahan nilai-nilai. Bertolak dariinilah orang tua dengan mutlak harus memberi bekal kerohanian kepada anak-anaknya.
Sebagaimana kita ketahui sifat meniru anak sangatlah besar, baik pada orang tuanya, lingkungn dan hal-hal yang mereka lihat, mereka dengar serta segala apa yang mereka alami.
Keluarga adalah sebagai suatu masyarakat kecil, mempunyai peran bagi pendidikan akhlak anak-anak, karena bagi anak, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam interaksi.
Orang tua merupakan sebutan yang ditunjukan pada ayah dan ibu yang mempunyai anak, mempunyai eranan yang sangat penting dalam mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang baik, berakhlakul karimah. Karena keduanya merupakan orang yang sering diajak berinteraksi juga menjadi figure yang selalu ditiru oleh anak.
Pendidikan anak, terutama pendidikan akhlak bagi anak-anak menjadi sangat penting karena mereka akan menghadapi suatu yang sama sekali berbeda dengan yang kita hadapi sekarang. Pembekalan akhlak pada anak-anak menjadi dominant supaya mereka mampu bertahan hidup dengan terhindar dari semua yang akan menjerumuskan mereka kedalam hal-hal yang dilarang agama.
Mengingat begitu pentingnya pendidikan akhlak yang dilakukan dari sebuah latanan yang paling kecil yaitu keluarga, maka banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang menekankan pentingnya pendidikan akhlak, yang salah satunya terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 36. dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa akidah sangat erat kaitannya dengan ibadah dan akhlak. Sesudah kita diperintahkan untuk menyembah Allah dan dilarang menyekutukan-Nya dengan sesuatu apaun, baik itu waktu, jabatan, pekerjaan, kesenangan, kedudukan, berhala ataupun yang lain; lalu kita dierintahkan agar berbakti kepada orang tua, menjalin hubungan baik dengan karib kerabat, dengan orang-orang miskin, tetangga dekat ataupun jauh, teman sejawat, orang yang kehabisan bekal diperjalanan atau ibnu sabil, bahkan dengan hamba sahaya yang kita milikpun kita tetap harus bergaul dengan akhlak yang mulia.
Pokok-pokok pikiran di atas mendorong penulis untuk mengkaji lebih jauh bagaimana eranan keluarga terutama orang tua kaitannya dengan pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat an-nisa’ ayat 36.

B.     Perumusan Masalah dan Batasan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang perlu dikaji dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud keluarga?
2.      Apakah yang dimaksud pendidikan akhlak pada anak-anak?
3.      Bagaimana kandungan surat An-Nisaa’ ayat 36 dikaitkan dengan peranan keluarga dalam pendidikan akhlak anak-anak?
C.    Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui tentang keluarga.
2.      Untuk mengetahui tentang pendidikan akhlak yang diterapkan pada masa anak-anak.
3.      Untuk mengetahui peranan keluarga kaitannya dengan pendidikan akhlak anak yang terkandung dalam surat an-Nisaa’ ayat 36.
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah diharapkan dapat berguna terutama bagi diri penulis  sendiri untuk dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dan dapat pula menjadi bahan masukan dalam membina keluarga terutaman dalam hal mendidik anak-anak
D.    Kerangka Penelitian
Menurut M. Athiyah Al Abrasyi pendidikan adalah kegiatan yang diarahkan terhadap tercapainya manusia yang berakhlak. Pernyataan ini akan dapat dengan mudah dicapai apabila ditunjang dengan kegiatan seperti kemampuan membaca yaitu, kecepatan membaca dan pemahaman isi secara keselurhan[7]
Penguasaan mata pelajaran bukan semata pada kemampuan menghapal konsep demi konsep tetapi harus mampu mengimplementasikannya dalam bentuk karya nyata, sikap kesadaran yang tinggi dalam tingkah laku yang baik. Sikap dan tingkah laku yang baik disebut dengan akhlak
Akhlak kata dasarnya adalah “khalaqun” dan “makhluqun” kata sifatnya adalah “akhlaqun” [8]. Akhlak adalah nilai pribadi dan harga diri seseorang, maka orang yang tidak berakhlak hilanglah harga dirinya di hadapan Allah SWT, di hadapan masyarakat, bahkan dalam lingkungan keluarganya sendiri, akhlak itu merupaka sifat yang tumbuh dan menyatu dalam diri seseorang.
Akhlak merupakan perangkat tata nilai yang bersifat samawi dan ajali yang mewarnai cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang muslim terhadap dirinya, terhadap Allah, dan Rasulnya, terhadap sesama dan terhadap lingkungannya[9]
Pada situasi yang ideal siswa yang menguasai mata pelajaran Pendidikan Agama Islam  secara kognitif baik, seharusnya penguasaan apektifnya pun harus baik pula. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan pada situasi riil bisa saja terjadi siswa yang secara kognitif mengusai mata pelajaran Pendidikan Agama Islam  dengan baik tetapi tidak mampu menghayati pengetahuannya ke dalam asfek apektif atau tingkah laku sehari–hari. Demikian juga bisa saja terjadi siswa yang kurang menguasai mata pelajaran Pendidikan Agama Islam secara kognitif dengan baik tetapi ia mampu menerapkan pengetahuan yang dimilikinya dalam praktik tingkah laku sehari–hari.
Kehidupan dan peradaban manusia di awal millennium ketiga ini memang banyak mengalami perubahan. Dalam merespon fenomena itu, manusia berpacu mengembangkan pendidikan baik di bidang ilmu-ilmu sosial, ilmu alam, ilmu pasti maupun ilmu-ilmu terapan. Namun bersamaan dengan itu muncullah sejumlah krisis multi dimensi misalnya krisis politik, ekonomi, sosial, hukum, etnis agama, golongan dan ras. Akibatnya peranan serta efektivitas pendidikan agama di sekolah sebagai pemberi nilai spiritual terhadap kesejahteraan masyarakat dipertanyakan. Dengan asumsi bahwa jika pendidikan agama dilaksanakan dengan baik, maka seharusnya kehidupan masyarakatpun seharusnya lebih baik pula.
Pendidikan agama dalam kenyataannya dinilai kurang memberikan konstribusi positif kearah itu. Setelah ditelusuri ternyata pendidikan agama menghadapi berbagai kendala, antara lain; alokasi waktu yag disediakan kurang memadai sementara muatan materi yang begitu padat dan penting, serta menuntut pemantapan pengetahuan hingga mengarah kepada pembentukan karakter, watak dan kepribadian yang berbeda jauh dengan tuntutan terhadap mata pelajaran yang lainnya.
Berdasarkan uraian konsep di atas secara logika dapatlah kita katakana bahwa peranan penguatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam banyak atau sedikitnya akan memberikan pengaruh terhadap penguasaan keterampilan beragama siswa. Dengan kata lain bahwa penampilan seorang siswa akan berkaitan dengan tingkat pemahaman materi pembelajaran.
Untuk memperjelas pengertian dan pemahaman serta menghindari adanya mis under standing dalam judul skripsi ini; Peran Keluarga Dalam Pendidikan Akhlak Anak-anak (Studi Analisis Surat an-Nisa’ ayat:36), maka penulis memandang perlu memperjelasnya. Istilah-istilah yang dimaksud adalah:
1.      Peranan Keluarga
Peranan keluarga terdiri dari dua kata yaitu peranan dan keluarga. Peranan berasal dari kata “peran” yang berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat . sedang “peranan” yang mendapat akhiran –an­­- berarti bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.
Sedangkan Keluarga adalah ibu, bapak dan anaknya.. (keluarga pokok).
Menurut Hasan Langgulung, keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat dimana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, sebagian besarnya, bersifat hubungan-hubungan langsung.[10]
2.      Pendidikan Akhlak Anak-Anak
Pendidikan adalah upaya membantu peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, nilai, sikap dan ola tingkah laku yang berguna bagi hidupnya.
Sedangkan akhlak secara bahasa dapat diartikan sebagai “budi pekerti kelakuan, watak
Secara definitif, akhlak adalah “budi pekerti, watak, kesusilaan (berdasarkan moral dan etik) yaitu kelakuan yang baik merupakan akibat sikap jiwa yang benar terhadap khalik dan terhadap semua manusia. Anak adalah keturunan kedua, yang masih kecil.
Anak menurut Saatra Praja adalah “masa dalam periode Perkembangan dari berakhirnya masa bayi atau umur (3-0) hingga menjelang masa pubertas. sedangkan masa pubertas menurut Aristoteles adalah umur 14,0-21,0 tahun.
Ketiga pengertian diatas yaitu pendidikan akhlak dan anak, maka dapat dipahami sebagai proses pengubahan cara berfikir atau tingkah laku anak dalam upaya pembinaan nilai-nilai akhlak yang baik, baik itu terhadap kholiknya maupun sesame manusia.
Jadi kedua rangkaian di atas peranan keluarga dan pendidikan akhlak anak-anak adalah bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh anggota keluarga terutama ayah-ibu dalam membina cara berfikir atau tingkah laku anak dalam upaya pembinaan nilai-nilai akhlak yangbaik; lalu dihubungkan dengan pendidikan akhlak yang terkandungdalam surat an-Nisa’ ayat 36.

E.     Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian Data
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan jenis penelitian pustaka (library research), yakni mencari data dengan cara melakukan penelusuran terhadap buku-buku, terhadap sejumlah tulisan perustakaan dan menelaahnya.[11]
2.      Sumber Kajian
Dalam skripsi ini penulis mengambil sumber kajian dari :
a.       Tafrir Al-Maraghi
b.      Tafsir Al-Qur’an Majid
c.       Tafsir Al-Ahzar
3        Analisis
Dalam menganalisis dan menggunakan metode sebabai berikut :
Metode tafsir tahlilii (Analisis)
a.       Metode tahlilii adaah menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan mempaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[12]
b.      Metode Conect Analisis
Yaitu metode yang digunakan untuk menganalisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi
Secara khusus  metode ini penulis terapkan pada bab IV dimana penulis berusaha menganalisis isi uraian mengenai pemahaman.

F.     Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk mendapatkan gambaran yang mudah dalam memahami seluruh skripsi ini, maka penulis memformulasikan pembahasan dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan, yang berisikan garis besar keseluruhan ini isi skripsi ini yang terdiri dari; latar belakang masalah, pengesahan istilah, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulsan skripsi.
Bab II : Bab ini membahas mengenai penafsiran sutar an-Nisaa’ ayat 36 tenyang pendidikan akhlak Yang meliputi ; bunyi ayat surat an-Nisaa’ ayat 36, munasabah ayat, penafsiran para mufasir, dan isi kandungan ayat.
Bab III : dalam bab ini membahas tentang keluarga dan pendidikan akhlak yang meliputi, pertama, keluarga, yang mencakup : pengertian keluarga, dasar dan tujuan keluarga serta fungsi keluarga. Kedua, pendidikan akhlak, yang mencakup; pengertian pendidikan akhlak, metode pendidikan akhlak.
Bab IV : Berisi analisis, terdiri dari peranan keluarga terhadap pendidikan akhlak anak, sasaran pendidikan akhlak anak dalam surat an-Nisaa’ ayat 36 yang meliputi ; mendidik ketauhidan, berbuat baik keada orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga jauh dan dekat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Tidak boleh berbuat sombong dan tidak boleh ujub (membanggakan diri).
Bab V : Penutup, berisi “ kesimpulan, kata penutup dan saran-saran.

Senin, 14 Mei 2012

Metode Demonstrasi, Eksperimen dan Resitasi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah metode. Sebenarnya, apakah arti metode itu. Secara sederhana, metode dapat diartikan sebagai cara yang teratur dan berpikir baik untuk mencapai maksud tertentu. Dalam dunia pendidikan kita mengenal adanya metode pembelajaran. Hal penting yang perlu kita ketahui dalam metode pembelajaran adalah bahwa setiap metode pembelajaran yang digunakan harus berhubungan dengan tujuan belajar yang ingin dicapai. Tujuan untuk mendidik peserta didik agar mampu memecahkan berbagai macam problematika dalam belajar membutuhkan metode yang sesuai dan pas. Pembelajaran mempunyai dua karakteristik yaitu pertama, dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berfikir. Kedua, dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses dan tanya jawab terusmenerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan berfikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
Oleh karena itu, untuk mendorong dan mendukung keberhasilan guru dalam proses belajar dan mengajar, guru seharusnya mengerti akan fungsi dan tujuan, langkah-langkah pelaksanaan metode pembelajaran sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran. Jika metode dalam pembelajaran tidak dikuasai maka penyampaian materi ajar mejadi tidak maksimal. Metode yang digunakan sebagai strategi dapat memudahkan peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru. Ada berbagai contoh metode pembelajaran, diantaranya metode ceramah, metode tanya jawab (respons), metode diskusi, metode demonstrasi, metode sosiodrama, metode karya wisata, metode kerj kelompok, metode latihan, metode pemberian tugas, dan metode eksperimen. Dalam sistem pembelajaran, misalnya pembelajaran pendidikan agama islam membutuhkan metode yang pas dan efektif sehingga peserta didik dapat menyerap teori dan mengaplikasikannya dalam bentuk praktik.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk membahas metode demonstrasi, eksperimen dan resitasi. Dalam hal ini penulis juga akan mengungkapkan kebaikan-kebaikan dan kelemahan-kelemahan metode demonstrasi, eksperimen dan resitasi.

B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah pengertian metode pembelajaran?
2. Ada berapa macam metode pembelajaran?
3. Apakah yang dimaksud metode demontrasi, eksperimen, dan Resitasi?
4. Apa saja kebaikan dan kelemahan metode Metode Demonstrasi, Eksperimen, dan Resitasi?

C. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat yang ingin penulis capai dalam penulisan ini antara lain ingin mengetahui:
1. Pengertian metode pembelajaran.
2. Pengertian metode Metode Demonstrasi, Eksperimen, dan Resitasi.
3. Kebaikan dan kelemahan metode Metode Demonstrasi, Eksperimen, dan Resitasi.


Hubungan Antara Motivasi Belajar Dengan Disiplin Belajar Siswa Pada Saat Layanan Pembelajaran di MI Negeri Cigeulis (Penelitian Pada Siswa Kelas VI) Tahun Pelajaran 2011 / 2012


A.  Latar Belakang Masalah
Dari waktu ke waktu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologisemakin pesat, arus globalisasi semakin hebat. Akibat dari fenomena ini antaralain munculnya persaingan dalam berbagai bidang kehidupan diantaranya bidangpendidikan. Untuk menghadapinya dibutuhkan sumber daya manusia yangberkualitas, salah satu cara yang ditempuh adalah melalui peningkatan mutupendidikan. Berbicara mengenai mutu pendidikan tidak akan lepas dari kegiatanbelajar dimana aktivitas belajar siswa menunjukkan indikator lebih baik. Untukmencapai pokok materi belajar siswa yang optimal tidak lepas dari kondisidimana kemungkinan siswa dapat belajar dengan efektif dan dapatmengembangkan daya eksplorasinya baik fisik maupun psikis. Dengan motivasibelajar pada siswa disaat pemberian layanan pembelajaran yang baik tidaklahmudah, banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain pendidik, orang tua,dan siswa. Sehingga siswa memegang peranan dalam mencapai disiplin belajar.
Menurut Undang – undang No. 20 tahun 2003 bahwa Tujuan PendidikanNasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadimanusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal memiliki tujuan yang sama dengan tujuan pendidikan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak selalu berjalan dengan lancar karena penyelenggaraan pendidikan bukan suatu yang sederhana tetapi bersifat kompleks. Banyak faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan pendidikan baik faktor dari peserta didik maupun dari pihak sekolah. Salah satu faktor yang berasal dari diri peserta didik yaitu disiplin belajar yang rendah. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan pendidikan salah satunya yaitu dengan meningkatkan disiplin belajar pada peserta didik. Agar proses belajar mengajar lancar maka seluruh siswa harus mematuhi tata tertib dengan penuh rasa disiplin yang tinggi. Disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan atau keterikatan terhadap sesuatu peraturan tata tertib.
Disamping itu pendidikan anak dalam keluarga sering kali berlangsung secara tidak sengaja, dalam arti tidak direncanakan atau dirancang secara khusus guna mencapai tujuan – tujuan tertentu dengan metode – metode tertentu seperti dalam pendidikan di sekolah. Pendidikan dalam keluarga sering kali dilaksanakan secara terpadu dengan pelaksanaan tugas / kewajiban orang tua terhadap anak. Orang tua memegang peranan untuk menimbulkan motivasi belajar dalam diri siswa. Karena keberhasilan siswa dalam meningkatkan motivasi belajar hanya ditentukan oleh kegiatan belajar mengajar di sekolah saja, tetapi juga perlu didukung dengan kondisi dan perlakuan orang tua (pola asuh dirumah) yang dapat membentuk kebiasaan belajar yang baik. Dari pengertian tersebut tampak jelas bahwa disiplin merupan sikap moral seseorang yang tidak secara otomatis ada pada dirinya sejak ia lahir, melainkan dibentuk oleh lingkungannya melalui pola asuh serta perlakuan orang tua, guru, serta masyarakat. Individu yang memiliki sikap disiplin akan mampu mengarahkan diri dan mengendalikan perilakunya sehingga akan menunjukkan nilai – nilai ketaatan, kepatuhan, keteraturan dan ketertiban terhadap peran – peran yang ditetapkan.
Berdasarkan hasil observasi awal di MI Negeri Cigeulis menunjukkan bahwa :
1.  Tampak bahwa siswa yang belajar di MI Negeri Cigeulis menunjukkan tingkat disiplin belajar yang berbeda – beda, ada yang tinggi sedang dan rendah, ini dibuktikan pengamatan yang peneliti lakukan sendiri, wawancara dengan guru bidang studi, wali kelas maupun guru bimbingan dan konseling.
2.  Motivasi belajar siswa yang tinggi biasanya dimilki oleh siswa yang duduk dibangku bagian depan, sedangkan motivasi belajar siswa yang rendah biasanya duduk dibangku belakang, ini dibuktikan dengan hasil belajar yang mereka dapatkan.
Sikap disiplin dan motivasi belajar yang tinggi penting dimiliki oleh setiap siswa karena dengan disiplin dan motivasi belajarnya tinggi akan memudahkan siswa dalam belajar secara terarah dan teratur. Siswa yang menyadari bahwa belajar tanpa adanya suatu paksaan, siswa menunjukkan perilaku yang memiliki kecenderungan disiplin yang tinggi dalam dirinya disamping itu juga akan timbul suatu motivasi dalam diri siswa. Mereka menyadari bahwa dengan disiplin belajar dan juga adanya motivasi belajar dalam dirinya akan mempermudah kelancaran di dalam proses pendidikan. Hal ini terjadi karena dengan disiplin rasa segan, rasa malas, dan rasa membolos akan teratasi. Siswa memerlukan disiplin belajar dan adanya motivasi dalam belajar supaya dapat mengkondisikan diri untuk belajar sesuai dengan harapan – harapan yang terbentuk dari masyarakat. Siswa dengan disiplin belajar dan adanya motivasi yang tinggi akan cenderung lebih mampu memperoleh hasil belajar yang baik dibanding dengan siswa yang disiplin belajar dan kurangnya motivasi belajarnya rendah.
Siswa yang disiplin dalam belajar dan juga adanya motivasi belajar senantiasa bersungguh – sungguh dan berkonsentrasi dalam mengikuti pembelajaran di kelas, siswa datang ke sekolah tepat waktu dan selalu mentaati tata tertib sekolah, apabila berada di rumah siswa belajar secara teratur dan terarah. Menurut Imelda siswa yang disiplin belajar akan terlihat memiliki waktu belajar yang teratur, belajar sedikit demi sedikit (menyicil), menyelsaikan tugas pada waktunya dan belajar dalam suasana yang mendukung.[1]
Dalam penelitian ini MI Negeri Cigeulis Kabupaten Pandeglang dipilih sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dari pembimbing di MI yang lain di Cigeulis yang menyatakan bahwa di sekolah tersebut menunjukkan kesenjangan khususnya pada siswa kelas VI seperti : siswa datang ke sekolah sekedar presensi, setelah jam pelajaran dimulai siswa tidak segera masuk ke kelas, pada saat jam pelajaran kosong siswa sering gaduh dan meninggalkan kelas pergi ke kantin, siswa belajar jika ada ulangan saja, siswa kadang mencontek pada saat ulangan dan siswa mengerjakan pekerjaan rumah (PR) di sekolah saja. Disamping itu, prestasi belajar siswa juga belum memuaskan. Perilaku siswa yang demikian disebabkan karena kurangnya kesadaran siswa akan pentingnya belajar, siswa kurang dapat mengarahkan dan mengendalikan perilakunya sehingga menunjukkan perilaku yang menyimpang dari kegiatan belajar. Hal ini berarti dalam diri siswa tersebut disiplin belajarnya masih kurang karena siswa yang disiplin dalam belajar akan mampu mengarahkan diri dan mengendalikan perilakunya sehingga menunjukkan keteraturannya dalam kegiatan belajar, siswa belajar secara terprogram.
Berdasarkan informasi tersebut peneliti melakukan observasi khususnya di MI Negeri Cigeulis Kabupaten Pandeglang , banyak siswa kurang memiliki disiplin belajar dan motivasi belajar dalam arti disiplin dan motivasi belajar siswa masih rendah. Dalam menerapkan disiplin pada siswa di sekolah tidak dapat dipisahkan dari masalah tata tertib sekolah, jadi disiplin siswa merupakan cerminan langsung dari kepatuhan seorang siswa dalam melakukan peraturan -peraturan yang berlaku di sekolahnya, kepatuhan murid dalam melaksanakan tata tertib sekolah akan mendukung terciptanya belajar mengajar yang efektif dan berguna untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Siswa yang memiliki disiplin dan motivasi belajar akan menunjukkan kesiapannya dalam mengikuti pelajaran di kelas, memperhatikan penjelasan guru, mengerjakan tugas – tugas PR dan memiliki kelengkapan belajar misalnya buku dan alat belajar lainnya. Sebaliknya siswa yang kurang disiplin dan kurang motivasi belajar maka tidak menunjukkan kesiapan dalam mengikuti pelajaran dengan melanggar peraturan yang diterapkan di sekolah antara lain; tidak masuk sekolah atau membolos, tidak mengerjakan PR, tidak memperhatikan penjelasan guru, kelengkapan belajar kurang, bahkan orang tua murid menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak pada guru disekolah. Oleh karena itu peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian di MI Negeri Cigeulis Kabupaten Pandeglang . Dalam penelitian ini siswa kelas VI dipilih sebagai populasi penelitian karena siswa kelas VI menunjukkan gejala disiplin belajar dan motivasi belajar yang tinggi dibanding dengan kelas lainnya.
Upaya peningkatan disiplin belajar dan motivasi belajar dapat dilakukan oleh pihak sekolah maupun oleh pihak orang tua siswa. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah untuk meningkatkan disiplin belajar dan motivasi belajar siswa yaitu melalui kegiatan pembinaan siswa dengan memberikan layanan bimbingan belajar kepada siswa dengan memberikan tambahan pelajaran yang dapat dilaksanakan setelah jam pelajaran sekolah selesai, sedangkan orang tua dapat melakukan pengawasan terhadap kegiatan belajar siswa. Disamping itu para pendidik dan orang tua dapat melakukan pembinaan dengan jalan memberikan contoh teladan yang berupa sikap dan perbuatan yang baik.
Dalam upaya membantu siswa meningkatkan disiplin belajar maka peneliti mencoba untuk melaksanakan penelitian. Judul penelitian yang penulis angkat dalam penelitian ini yaitu ” Hubungan Antara Motivasi Belajar Dengan Disiplin Belajar Siswa Pada Saat Layanan Pembelajaran di MI Negeri Cigeulis  (Penelitian Pada Siswa Kelas VI) Tahun Pelajaran 2011 / 2012” .